Beban Transformasi Ekonomi Kalimantan Timur
Masihkan bisa berharap
terhadap Hutan?
Tunggul Butarbutar
Gubernur dan Wakil Gubernur
Kalimantan Timur yang baru boleh memulai aktifitasnya denga agak lega, ketika
pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur berangsur membaik walau belum sepenuhnya
pulih. Pertumbuhan ekonomi yang sempat
menyentuh angka minus 2,0 pada berapa tahun belakangan memang pantas
mengkuatirkan. Pulihnya kondisi ekonomi
global dan membaiknya harga batubara mendorong geliat ekonomi kembali di
Kalimantan Timur.
Namun fakta bahwa Kalimantan
Timur yang kaya sumber daya alam selama beberapa semester mengalami kontraksi
ekonomi yang besar sehingga menempatkan provinsi ini pada provinsi paling
rendah pertumbuhan ekonominya mengingatkan kita betapa ekonomi Kalimantan Timur
yang disandarkan pada ekstraksi sumber daya alam dan ekspor sangat rentan
terhadap perubahan ekonomi global.
Sedikit saja perubahan pasar dapat memporak-porandakan ekonomi provinsi
ini.
Kerentanan ini akan semakin
diperparah fakta bahwa ketergantungan terhadap minyak, gas dan batubara ini
juga tidak akan bisa berlangsung selamanya.
Cadangan minyak, gas dan batubara diproyeksikan hanya bisa diharapkan
hingga 20-50 tahun ke depan. Setelah itu
(jika tidak berubah) maka Kalimantan Timur bisa jadi akan menjadi akan menjadi
semacam ampas tebu yang manisnya sudah habis terhisap. Waktu 20-30 tahun
bukanlah waktu yang lama, barangkali waktu ini juga akan dipersingkat oleh
gerakan global yang mengurangi penggunaan energi fosil seperti yang sudah mulai
berlangsung di Eropa, Korea, Jepang dan negara-negara lainnya.
Pemerintah Kalimantan Timur sebenarnya
sudah mencanangkan transformasi ekonomi setelah menyadari keterbatasan
kemampuan ekstraksi sumber daya alam tidak terbaharukan dalam menyangga
pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Transformasi ekonomi ini dapat dilihat sebagai “exit strategy” dari
ketergantungan pada minyak dan gas serta batu-bara yang cadangannya
diproyeksikan hanya bisa diharapkan hingga 20-50 tahun kedepan. Namun pergantian kepemimpinan bisa saja
membuat ide transformasi ini terlupakan tergantikan dengan ide-ide atau
inisiative baru. Yang penting diingat
adalah, suka-tidak suka, sepertinya transformasi ekonomi menjadi pilihan yang
tidak bisa dielakkan.
Inisiasi transformasi ekonomi dimasa
kepemimpinan Awang Faruk ditandai dengan perubahan dan penyesuaian dalam RPJMD
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang mencoba mendorong fondasi
yang lebih kuat di sektor agroindustri. Titik
tumpunya adalah pengembangan perkebunan dan industri derivatnya di Kalimantan
Timur. Mudah diduga bahwa faktor
pendoronganya adalah ketersediaan lahan yang masih luas serta ceruk pasar yang
masih sangat besar untuk komoditi ini, selain bertani adalah budaya masyarakat
Indonesia.
Yang barangkali luput dari
perhatian adalah peran sektor kehutanan dalam transformasi ekonomi ini. Baik dalam RPJMD maupun dalam wacana
transformasi ekonomi, kontribusi sektor kehutanan kerap tidak diperhitungkan. Lepas dari luas hutan Kalimantan Timur yang masih
mencapai 9 juta hektar (bandingkan dengan luas kebun yang 1,5 juta hektar)
kontribusi ekonomi untuk pembangunan Kaltim sepertinya sudah dianggap sepi dan
hanya dipandang sebagai pelengkap terutama ketika berbicara perubahan iklim.
Ada anggapan bahwa pendapatan negara di sektor kehutanan sebagian besar dibawa
ke Jakarta dan tidak banyak berkontribusi kepada pendapatan asli daerah
sehingga tidak dipandang potensial untuk menggerakkan roda ekonomi. Hipotesa yang mungkin perlu dipertanyakan
mengingat bahwa sejarah pertumbuhan ekonomi tertinggi di Kalimantan Timur (hingga
mencapai 7.5%) dicapai pada masa-masa keemasan kayu. Angka ini bahkan tidak pernah dilewati ketika
Kalimantan Timur booming Batubara.
Sunset atau sunrise,
Menurunnya peran ekonomi sektor
kehutanan dekade terakhir memang telah menjadi pemicu tersisihnya kehutanan
dalam percaturan ekonomi lokal. Tidak
hanya jumlah konsesi (IUPHHK) hutan alam dan hutan tanaman yang menurun dari
100 lebih hingga tinggal 40 an saat ini, gambaran terbesar keterpurukan sektor
kehutanan dipertunjukkan oleh rontoknya industri-industri kayu besar di Kalimantan
Timur yang membawa dampak sangat signifikan pada penyediaan lapangan kerja. Semenjak
itu hampir semua pihak mengaminkan bahwa sektor kehutanan adalah “sunset industri”, industri yang sedang
menuju proses me-layu dan nanti akhirnya akan mati. Persepsi yang tidak sepenuhnya benar ini
memang cenderung makin dipercayai bahkan di kalangan pemerintah dan perguruan
tinggi, yang membuat motivasi dan inovasi
di sektor kehutanan cenderung mati suri. Fakultas kehutanan yang dulu menjadi favorit
mahasiswa kesulitan mendapatkan mahasiswa dan lulusannya kesulitan mendapatkan
pekerjaan.
Faktanya kebutuhan produk kayu
global terus bertumbuh setiap tahun pada angka 1-4% tergantung komoditi. Pertumbuhan kebutuhan produk kertas dan papan
pada periode 2010 ke 2014 saja bertumbuh sebesar 7.6 juta ton (Hawkins Wright, 2014),
sedangkan kebutuhan pulp bertumbuh hampir 2 kali lipat dari 28 juta ton di
tahun 1990 menjadi 58 juta ton di tahun 2014 dimana sebagian besar pertumbuhan
kebutuhan digerakkan oleh pertumbuhan ekonomi di China. Kendati belum mencapai angka tertinggi
seperti sebelum resesi, tetapi pertumbuhan permintaan produk kehutanan terus
meningkat. Konsumsi kayu bulat di negara
berkembang memang anjlok hingga -24% dari masa pre-resesi 2005, tetapi saat ini
terus bertumbuh (terutama di negara berkembang) hingga 28% sehingga secara
global tingkat konsumsi dunia sudah hampir sama dengan angka pada tahun 2005.
Di negara-negara maju,
pertumbuhan ini didorong oleh pertumbuhan kebutuhan konstruksi (seperti di US
dan di negara-negara Eropa). Di negara
yang sedang berkembang, kebutuhan terutama bertumbuh sangat besar di China,
Timur Tengah dan negara-negara Afrika bagian Utara.
Diluar produk “tradisional”
kehutanan seperti kayu gergajian, plywood, kertas, pulp dan lain-lain, secara
umum permintaan akan biomasa untuk energi juga meningkat tajam di berbagai
belahan bumi. Kebijakan-kebijakan
“hijau” diberbagai negara telah mendorong mulai dikuranginya konsumsi energi
fosil. Negara-negara majupun mulai menggeser strategi penyediaan energinya
kepada energi terbarukan termasuk dari biomasa hutan. Permintaan ini diperkirakan akan bergerak
naik dimasa depan.
Perkembangan sains dan teknologi
dalam proses pengolahan bahan baku kayu dan biomasa lainnya serta
kebijakan-kebijakan pembangunan hijau
diperkirakan akan mendorong pengggunaan produk hutan yang lebih luas.
Industri masa depan? Produk Biomasa
dan Biobased
Alih-alih sebagai industri yang
sedang mendekati ajal, banyak pihak menilai bahwa produk kehutanan adalah
produk masa depan. Lebih luas dari
penggunaan kayu konvensional seperti untuk konstruksi, kertas dan energi kecenderungan
penggunaan biomasa kayu dimasa depan diperkirakan akan semakin meluas kepada
produk-produk biologi dan biokimia. Serat
kayu atau residu akan dioleh melalui proses bio-refinery
menjadi biofuel, dan bioenergi
lainnya, menjadi produk tradisional seperti kertas, pulp dan papan, bahan bakar
generasi kedua seperti cellulosic ethanol
dan renewbale diesel ataupun produk-produk bernilai tinggi lainnya
seperti material biokimia, biomaterial serta produk lanjut lainnya.
Egon Glesinger, pada tahun 1949
dalam bukunya “The coming age of wood” sebenarnya sudah secara gamblang
menuliskan betapa cemerlangnya masa depan hutan/kayu. Egon menunjukkan bagaimana kayu bisa diolah
menjadi berbagai rupa produk bernilai sangat tinggi dan diperlukan bagi
manusia. Mulai dari bahan bakar cair,
padat dan gas, bahan makanan yang beragam, pakaian, rumah dan lain sebagainya. Egon tidaklah menghayal. Setidaknya pada saat ini ada sekitar 400
jenis material yang berasal dari sumber daya hutan yang telah diperdagangkan
dipasar global.
Melihat potensi hutan yang luar
biasa, negara-negara maju seperti Amerika, Canada dan Eropa pada saat ini sudah
berlomba untuk membangun cetak biru bio-ekonomi kehutanan. Sebuah studi yang dilakukan di Kanada
mengidentifikasi potensi pasar global produk biologi kehutanan hingga 200
milyar dollar amerika pertahun.
Nilai Tambah dan Produk baru bernilai tinggi
Ide pengembangan bio-produk
sebenarnya sangat memungkinkan dilakukan dalam rangka optimalisasi dan
efisiensi produk hasil hutan. Berbagai
studi menunjukkan bahwa setiap 1 meter kubik kayu yang ditebang di hutan tropis
dapat menghasilkan 2-3 meter kubik limbah.
Kayu yang dibawa ke pabrik juga hanya memiliki rendemen (produk akhir)
30-50%. Artinya ada banyak sekali limbah
yang tidak terpakai mulai dari proses penebangan hingga proses produksi. Dimasa depan, semestinya limbah-limbah ini
akan bisa dimanfaatkan untuk memproduksi bahan bakar yang terbaharukan,
bio-plastik, bahan kimia untuk kosmetik, farmasi dan zat tambahan makanan
seraya juga menghasilkan listrik yang bisa digunakan untuk proses produksi dan
perumahan. Perusahaan kehutanan dengan
demikian akan sangat efisien, menghasilkan sangat sedikit (jika masih ada)
limbah seraya meningkatkan pendapatan.
Produk-produk yang bisa
dihasilkan dari proses pengolahan kayu dan hasil hutan non kayu bisa sangat
beragam. Zat tambahan untuk makanan,
pembuatan jaket tahan peluru atau pembuatan panel untuk bahan sayap pesawat
terbang mungkin merupakan produk yang tidak terbayangkan ketika berbicara
tentang kayu. Riset-riset dan pengembangan teknologi proses
kayu pada saat ini sebenarnya sudah masuk ke area yang sangat maju. Kayu bisa menghasilkan serat yang sangat kuat
yang sangat cocok untuk tekstil. Dengan
sentuhan teknologi bahan ini bisa bersaing dengan serat sintetis dalam mengisi
pasar tekstil yang berasal dari kapuk. Komposit Nanocrystalline cellulose yang dihasilkan dari serat kayu dapat
digunakan untuk industri penerbangan untuk menggantikan bahan tidak
terbaharukan yang lebih berat. Material yang lebih ringan dapat mengurangi
bahan bakar dan emisi dari penerbangan.
Biodegradable plastic (bio-plastik) dapat dihasilkan dari
biomasa. Plastik ini selain terbaharukan
(bandingkan dengan plastic dari bahan petroleum) juga bisa terurai dengan
cepat. Saat ini Norwegia misalnya sudah memproduksi Paptic, produk dari serat kayu yang mampu menggantikan dan memiliki
kekuatan yang jauh lebih kuat dari plastik.
Permintaan pasar untuk
bio-plastik saat ini bertumbuh sangat cepat.
Lignin, bahan organik dalam
serat kayu, saat ini sedang dipertimbangkan untuk menggantikan carbon black, produk petroleum yang
digunakan untuk mengolah karet menjadi produk seperti ban. Penggunaan lignin untuk menggantikan bahan minyak akan menghasilkan produk ban
yang lebih bersahabat dengan lingkungan. Dengan menggunakan tekanan dan temperature
yang tinggi produk kayu dengan mudah dapat diproduksi menjadi bio-oil. Limbah kayu yang berserakan
dengan demikian bisa menjadi sumber pendapatan.
Bio-farmasi dapat dihasilkan dari komponen bio aktif dalam
tumbuhan. Keanekaragaman tumbuhan yang
kita miliki bisa menjadi sumber ekonomi yang sangat luar biasa. Trend pembangunan hijau telah mendorong
manusia untuk kembali menggunakan kayu sebagai bahan bangunan termasuk untuk
bangunan-bangunan tinggi. Produk dan
teknik konstruksi (misalnya dengan menggunakan Cross-Laminated Timber/CLT) telah memungkinkan digunakannya
material kayu dalam konstruksi pencakar langit.
1-3 milyar kubik panel kayu dapat digunakan untuk bangunan non perumahan
setiap saat.
Produk lain yang sangat potensial
didorong dari hutan adalah energi terbarukan dalam rangka peningkatan
elektrifikasi di Kalimantan Timur.
Penyediaan listrik menjadi persoalan besar tidak hanya untuk perumahan
tetapi juga dalam sentra-sentra pengembangan industri. Listrik berbahan baku biomasa bisa menjadi
jalan keluar murah dan terbaharukan.
Kawasan Industri Medan-II di kota Medan misalnya, listriknya sebagian
besar di suplai dari pembangkit listrik berbahan bakar biomasa yang dibangun di
dalam kawasan industri. Produk-produk
bioenergi seperti pelet kayu, briket, bio-ethanol, bio-diesel selain dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan lokal juga memiliki permintaan pasar yang cukup
besar.
Tranformasi ekonomi “hijau” berbasis Kehutanan
Mendorong berbagai produk dari
hutan akan membawa dampak ekonomi yang luar biasa. Yang paling mendasar adalah bahwa pandangan
tentang hutan sebagai penghasil kayu semata harus digeser. Kesempatan untuk menggunakan ribuan jenis
spesies yang selama ini “tidak bermanfaat” secara ekonomi akan terbuka lebar.
Hal ini memerlukan perubahan dalam cara memandang dan mengelola hutan. Hutan harus kembali dalam satu kesatuan
ekosistem yang semua komponennya dapat memberi manfaat beragam bagi manusia.
Penggunaan berbagai material
terbarukan dari hutan juga akan selaras dengan cita-cita pembangunan hijau
Kalimantan Timur. Optimasi bahan baku
akan menekan limbah dan emisi yang dihasilkan dari produk kayu. Penggunaan bahan-bahan terbarukan
menggantikan bahan-bahan tidak terbaharukan akan berkontribusi dalam
pembangunan berkelanjutan sekaligus mengurangi emisi. Mendorong industri kehutanan yang lebih maju
dengan sendirinya akan mampu menciptakan iklim investasi dan lapangan kerja
baru. Industri-industri kehutanan baru
ini bisa diintegrasikan dengan kawasan-kawasan industri agribisnis yang saat
ini sedang dikembangkan seperti di Maloy.
Beragamnya produk hutan yang bisa
dikembangkan juga akan membuka peluang yang sangat besar dalam keterlibatan
masyarakat dalam proses pengusahaan dan produk hasil-hasil hutan kayu dan non
kayu. Banyak produk yang bisa dihasilkan
dan dikembangkan dari kegiatan perhutanan sosial atau pengolaan berbasis
masyarakat lainnya. Perhutanan sosial
bisa dikembangkan menjadi salah satu pilar pengelolaan dan produksi.
Pentingnya KPH sebagai garda depan
Upaya-upaya yang sistematis dalam
mendorong pengelolaan yang lebih terintegrasi dan komprehensive dan berbasis
lansekap yang lebih luas dengan demikian menjadi penting. Upaya-upaya ini harus
dikordinasikan oleh sebuah lembaga pada tingkat lapangan yang mampu memadukan,
merencanakan, mendistribusikan dan mengawasai proses pengelolaan pada tingkat
lapangan. Pada saat ini pemerintah sudah mencanangkan pengembangan KPH sebagai
unit terkecil pengelola pada tingkat tapak.
Di Kalimantan Timur, kawasan hutan dibagi habis kedalam 21 KPH. KPH sebagai sebuah unit pemerintah pada
tingkat tapak akan menjadi pilar pengelolaan, kordinasi dan inovasi sektor
kehutanan. Oleh karena itu KPH menjadi
sangat penting di perkuat. Saat ini dari
21 KPH, pemerintah baru membentuk 9 organisasi yang mengelola 21 KPH yang
ada. Disadari bahwa rentang kendali pengelolaan
masih cukup besar untuk mampu mengelola kawasan hutan secara efektif, mengingat
bahwa kawasan hutan seluas 9 juta hektar ini dikelola oleh 9 organisasi. Dengan demikian setidaknya 1 Kepala KPH
mengelola 1 juta hektar. Satu kawasan
yang masih terlalu besar untuk dapat dikelola secara efektif pada tingkat
tapak. Oleh karena itu pengembangan
organisasi KPH didepan juga menjadi keniscayaan.
Selain fungsi mensinkronkan dan mensinerjikan
pengelolaan pada tingkat lapangan, KPH juga akan menjadi isntrumen yang tepat
untuk mengembangkan dan mengoptimalkan fungsi hutan sehingga dapat
berkontribusi maksimal terhadap pembangunan ekonomi daerah. KPH memiliki kewenangan untuk merencanakan
pengusahaan produksi hasil hutan, memibangun kemitraan dengan masyarakat dan
swasta dan lain sebagainya yang memeberikan dia ruang besar sebagai pilar
pengembangan ekonomi di sektor kehutanan
Bagaimana mendorong ke depan?
Mendorong tranformasi ekonomi
dari sektor kehutanan dengan demikian menjadi sebuah potensi yang besar. Namun demikian, jalan menuju transformasi di
sektor kehutanan sendiri harus diperkuat oleh berbagai hal. Selain perlunya perubahan paradigma dalam
memandang hutan sebagai penghasil kayu gelondongan saja, kebijakan di sektor
kehutanan sendiri perlu diperbaiki sehingga mampu mendukung “revolusi” industri
kehutanan yang baru. Dorongan investasi dan mempertemukan teknologi dan
pengelolaan hasil hutan menjadi sangat oenting.
Kemitraan-kemitraan global dan lokal perlu didorong untuk mempercepat
proses pengembangan industri. Lebih dari
itu, Kalimantan Timur membutuhkan adanya sebuad road map untuk pembangunan
bio-ekonomi kehutanan yang selaras dengan ide pembangunan hijau. Jika ini didorong, maka sektor kehutanan akan
siap menjadi motor tranformasi ekonomi kehutanan di depan.
[i]
Rimbawan, bekerja pada GIZ Forest dan Climate Change Program, Mahasiswa
Doctoral Hamburg University. Artikel ini
adalah opini pribadi penulis dan tidak serta merta mencerminkan pandangan dan
kebijakan lembaga tempat bekerja.
Posting Komentar